Senin, 20 April 2015

Tes Sidik Jari, Penipuan ?


oleh: Bpk. Farid Poniman

( Penemu Konsep STIFIn Personality )

The Founding Father Of STIFIn Persona



Tes Sidik Jari, Penipuan ?

Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan Prof. Sarlito Wirawan di Koran Sindo, 15 Mei 2011. Isinya adalah menunjukan bahwa beliau tidak percaya dengan tes sidik jari yang sekarang berkembang di masyarakat. Beliau katakan itu sebagai tidak ilmiah, dan terindikasi melakukan penipuan terhadap masyarakat. Setelah saya tanya ke para pakar, browsing, dan membaca beberapa referensi, maka saya coba memberikan pandangan yang berbeda dengan beliau.

Perbedaan mendasar antara Prof.Sarlito dengan para penganut Tes Sidik jari adalah dari segi world-view (sumber paradigma). Prof Sarlito dan ilmuwan psikologi lainnya, terutama yang beraliran barat, akan melihat personaliti sebagai ilmu perilaku (aliran behaviorism). Segalanya mesti bisa diukur berdasarkan perilaku yang tampak. Unsur-unsur potensial yang tersembunyi tidak bisa dijadikan patokan. Sehingga kalau kembali kepada rumus 100% Fenotip = 20% Genetik + 80% Lingkungan, maka aliran Prof Sarlito adalah yang 100% Fenotip, sedangkan Stifin Finger Print, aliran yang 20% Genetik. Dalam konsep STIFIn, 20% Genetik itulah yang aktif mencari lingkungan yang mendukung faktor genetiknya. Perbedaan world-view ini merupakan perbedaan yang tidak pernah tuntas di dunia akademik. Perbedaan itu dikenal dengan Nature vs Nurture. STIFIn FingerPrint penganut Nature, sedangkan Prof Sarlito penganut Nurture.
Perbedaan tersebut selaras dengan perbedaan:

1. Barat menganut Teori Evolusi Darwin bahwa manusia berasal dari monyet, sedangkan agamawan menganut teori eksistensi bahwa manusia pertama adalah Adam, juga selaras dengan
2. Stephen Hawking (fisikawan Barat) menganggap surga cuma dongeng, sedangkan agamawan meyakini keberadaan surga. World-view Barat seperti Darwin dan Hawking tersebut selaras dengan world view Behaviorism-nya Prof Sarlito. Kalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan ilmiah”. Itulah world-view mereka.

Secara sederhananya, saya meyakini adanya sibghah (celupan) Allah dalam diri manusia melalui kesengajaan Allah menjadikan manusia keturunan Adam. Selain itu ada kesengajaan Allah memberikan genetik yang unik pada setiap manusia. Konsep ini yang menjadi aliran Nature (ada campur tangan Allah dalam cetakan genetik manusia) sebagaimana yang saya anut, bahwa setiap manusia punya jalan sendiri-sendiri sesuai dengan genetiknya. Sedangkan aliran Nurture-nya Prof Sarlito akan mengatakan bahwa sepenuhnya manusia dapat dibentuk menjadi apapun, sepanjang bisa mengawal penggemblengan (menciptakan lingkungan sesuai keperluannya). Menurutnya manusia dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Jika mempelajari manusia pelajarilah pengalamannya.

Pandangan saya sebagaimana yang saya ungkapkan dalam banyak kesempatan bahwa yang 20% Genetik itulah yang aktif mencari 80% Lingkungan sehingga 100% Fenotip itu banyak dikontribusi oleh 20% Genetik. Memang betul tidak selalu 80% Lingkungan itu berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan 20% Genetik, tetapi tesis besarnya adalah –sadar atau tidak sadar—kebebasan berkehendak pada manusia akan mencetuskan keinginan mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, yaitu yang sesuai dengan 20% Genetik tadi. Setiap manusia mencari lingkungan yang ‘gua banget’ bagi dirinya.

Tentang hal ini, Rhenald Khasali (sesama dosen UI dengan Prof Sarlito namun berbeda pandangan juga dengan Prof Sarlito) menyebutnya sebagai genetika perilaku. “Para ahli genetika mulai masuk ke cabang baru dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioral genetics), karena berdasar sejumlah penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan “, Rhenald Khasali (2010).

Sejarah Finger Print

Sidik jari adalah ciri permanen yang genetik dan tidak berubah sepanjang umur manusia. William Jenings dari Franklin Institute Philadelpia, mengambil sidik jarinya sendiri pada umur 27 tahun (1887) kemudian membandingkan dengan sidik jari setelah umur 77 tahun ternyata tidak terjadi perubahan.

Sidik jari seseorang memiliki hubungan dengan kode genetik dari sel otak dan potensi intelegensi seseorang. Penelitian ini telah dimulai sejak lebih 200 tahun yang lalu, diawali oleh Govard Bidloo (1865), J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), Inez Whipple (1904), Kristine Bonnevie (1923), Harold Cummins (1926), Noel Jaquin (1958), Beryl Hutchinson (1967), dan kemudian oleh Baverly C Jaegers (1974) yang menyimpulkan bahwa sidik jari dapat mencerminkan karakteristik dan aspek psikologis seseorang.
Pada tahun 1901, Sir Edward Richard Henry mengembangkan Sistem Galton menjadi sistem Galton-Henry. Pada tahun 1914, sistem Galton-Henry mulai dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1960, sistem ini resmi digunakan oleh POLRI (menurut Indonesia Automatic Fingerprint Identification System/INAFIS).

Sekarang teknologi sidik jari sudah berkembang jauh. Salah satunya, teknologi dermatoglyphics yang dapat dipakai untuk membuktikan seberapa besar kapasitas yang dimiliki anak sejak lahir, mengetahui potensi bawaan, serta bakat terpendam anak. Teknologi tersebut mulanya dikembangkan di Harvard University, Cambridge University, dan Massachusetts University.Data statistik perangkat lunak dermatoglyphics itu diolah berdasarkan data sidik jari 3 juta orang di Asia dan Amerika. Dari rangkaian sejarah riset-riset sidik jari di atas masih kurang ilmiah apa lagi?.

Jika genetika perilaku yang mampu ditunjukkan oleh sidik jari dianggap sebagai ilmu semu, sebaiknya hal tersebut perlu direkomendasikan langsung ke POLRI dan institusi intelijen di seluruh negara untuk menukarkannya dengan cara lain. Saya yakin Prof Sarlito tidak akan punya cara lain yang lebih efisien dan efektif dibanding teknologi sidik jari. Padahal sidik jari sudah memiliki sejarah riset yang panjang, yang sungguh menyedihkan kalau dianggap sebagai bentuk penipuan yang lain.

Penutup

Ketimbang berburuk sangka dengan menuduhkan Tes Sidik Jari sebagai penipuan, atau ramalan, maka ada baiknya kita melihat manfaat dari hasil Tes tersebut. Setelah mengetahui faktor dominan dalam diri anaknya, maka orang tua punya referensi untuk mengarahkan masa depan anaknya tanpa harus memaksakan kehendaknya yang hanya akan membuat anak tertekan. Saya sendiri merasakan tingkat akurasi yang sangat tinggi setelah melakukan Tes Sidik jari dengan STIFIn Finger Print. Dan saya menemukan kembali jalur sukses saya, Karpet merah yang telah Tuhan sediakan untuk saya. Demikian juga para orang tua yang membawa anaknya untuk di tes, mengutarakan keakuratan hasil tes tersebut. Yang namanya ilmu buatan manusia tentu tidak ada yang 100% sempurna, dan selalu ada kontroversi. Daripada berkutat dengan kontroversi yang tidak akan pernah habis, alangkah lebih baiknya jika orang tua langsung action mendesain masa depan bagi putera-puterinya. Ini tentu lebih baik daripada harus menyerahkan kepada kehendak alam begitu saja, dan membiarkan seperti air mengalir.
Tugas kami adalah memberi kontribusi dalam hal membantu orang tua untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar