oleh: Bpk. Farid Poniman
( Penemu Konsep STIFIn Personality )
The Founding Father Of STIFIn Persona
Tes Sidik Jari, Penipuan ?
Beberapa waktu lalu, saya membaca
tulisan Prof. Sarlito Wirawan di Koran Sindo, 15 Mei 2011. Isinya adalah
menunjukan bahwa beliau tidak percaya dengan tes sidik jari yang sekarang
berkembang di masyarakat. Beliau katakan itu sebagai tidak ilmiah, dan
terindikasi melakukan penipuan terhadap masyarakat. Setelah saya tanya ke para pakar,
browsing, dan membaca beberapa referensi, maka saya coba memberikan pandangan
yang berbeda dengan beliau.
Perbedaan mendasar antara
Prof.Sarlito dengan para penganut Tes Sidik jari adalah dari segi world-view
(sumber paradigma). Prof Sarlito dan ilmuwan psikologi lainnya, terutama yang
beraliran barat, akan melihat personaliti sebagai ilmu perilaku (aliran
behaviorism). Segalanya mesti bisa diukur berdasarkan perilaku yang tampak.
Unsur-unsur potensial yang tersembunyi tidak bisa dijadikan patokan. Sehingga
kalau kembali kepada rumus 100% Fenotip = 20% Genetik + 80% Lingkungan, maka
aliran Prof Sarlito adalah yang 100% Fenotip, sedangkan Stifin Finger Print,
aliran yang 20% Genetik. Dalam konsep STIFIn, 20% Genetik itulah yang aktif
mencari lingkungan yang mendukung faktor genetiknya. Perbedaan world-view ini
merupakan perbedaan yang tidak pernah tuntas di dunia akademik. Perbedaan itu
dikenal dengan Nature vs Nurture. STIFIn FingerPrint penganut Nature, sedangkan
Prof Sarlito penganut Nurture.
Perbedaan tersebut selaras dengan perbedaan:
1. Barat menganut Teori Evolusi
Darwin bahwa manusia berasal dari monyet, sedangkan agamawan menganut teori
eksistensi bahwa manusia pertama adalah Adam, juga selaras dengan
2. Stephen Hawking (fisikawan Barat)
menganggap surga cuma dongeng, sedangkan agamawan meyakini keberadaan surga.
World-view Barat seperti Darwin dan Hawking tersebut selaras dengan world view
Behaviorism-nya Prof Sarlito. Kalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan
bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan ilmiah”. Itulah world-view mereka.
Secara sederhananya, saya
meyakini adanya sibghah (celupan) Allah dalam diri manusia melalui kesengajaan
Allah menjadikan manusia keturunan Adam. Selain itu ada kesengajaan Allah
memberikan genetik yang unik pada setiap manusia. Konsep ini yang menjadi
aliran Nature (ada campur tangan Allah dalam cetakan genetik manusia)
sebagaimana yang saya anut, bahwa setiap manusia punya jalan sendiri-sendiri
sesuai dengan genetiknya. Sedangkan aliran Nurture-nya Prof Sarlito akan
mengatakan bahwa sepenuhnya manusia dapat dibentuk menjadi apapun, sepanjang
bisa mengawal penggemblengan (menciptakan lingkungan sesuai keperluannya). Menurutnya
manusia dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Jika mempelajari manusia pelajarilah
pengalamannya.
Pandangan
saya sebagaimana yang saya ungkapkan dalam banyak kesempatan bahwa yang 20%
Genetik itulah yang aktif mencari 80% Lingkungan sehingga 100% Fenotip itu
banyak dikontribusi oleh 20% Genetik. Memang betul tidak selalu 80% Lingkungan
itu berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan 20% Genetik, tetapi tesis
besarnya adalah –sadar atau tidak sadar—kebebasan berkehendak pada manusia akan
mencetuskan keinginan mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, yaitu yang
sesuai dengan 20% Genetik tadi. Setiap manusia mencari lingkungan yang ‘gua banget’ bagi
dirinya.
Tentang hal ini, Rhenald Khasali
(sesama dosen UI dengan Prof Sarlito namun berbeda pandangan juga dengan Prof
Sarlito) menyebutnya sebagai genetika perilaku. “Para ahli genetika mulai masuk
ke cabang baru dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioral
genetics), karena berdasar sejumlah penelitian mutakhir terungkap adanya
pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan “, Rhenald Khasali (2010).
Sejarah Finger Print
Sidik jari adalah ciri permanen
yang genetik dan tidak berubah sepanjang umur manusia. William Jenings dari
Franklin Institute Philadelpia, mengambil sidik jarinya sendiri pada umur 27
tahun (1887) kemudian membandingkan dengan sidik jari setelah umur 77 tahun
ternyata tidak terjadi perubahan.
Sidik jari seseorang memiliki
hubungan dengan kode genetik dari sel otak dan potensi intelegensi seseorang.
Penelitian ini telah dimulai sejak lebih 200 tahun yang lalu, diawali oleh
Govard Bidloo (1865), J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823), Dr. Henry
Faulds (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), Inez
Whipple (1904), Kristine Bonnevie (1923), Harold Cummins (1926), Noel Jaquin
(1958), Beryl Hutchinson (1967), dan kemudian oleh Baverly C Jaegers (1974)
yang menyimpulkan bahwa sidik jari dapat mencerminkan karakteristik dan aspek
psikologis seseorang.
Pada tahun 1901, Sir Edward Richard Henry mengembangkan Sistem
Galton menjadi sistem Galton-Henry. Pada tahun 1914, sistem Galton-Henry mulai
dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1960, sistem ini resmi digunakan oleh
POLRI (menurut Indonesia Automatic Fingerprint Identification System/INAFIS).
Sekarang teknologi sidik jari
sudah berkembang jauh. Salah satunya, teknologi dermatoglyphics yang dapat
dipakai untuk membuktikan seberapa besar kapasitas yang dimiliki anak sejak
lahir, mengetahui potensi bawaan, serta bakat terpendam anak. Teknologi
tersebut mulanya dikembangkan di Harvard University, Cambridge University, dan
Massachusetts University.Data statistik perangkat lunak dermatoglyphics itu
diolah berdasarkan data sidik jari 3 juta orang di Asia dan Amerika. Dari rangkaian sejarah
riset-riset sidik jari di atas masih kurang ilmiah apa lagi?.
Jika
genetika perilaku yang mampu ditunjukkan oleh sidik jari dianggap sebagai ilmu
semu, sebaiknya hal tersebut perlu direkomendasikan langsung ke POLRI dan
institusi intelijen di seluruh negara untuk menukarkannya dengan cara lain. Saya yakin Prof Sarlito tidak
akan punya cara lain yang lebih efisien dan efektif dibanding teknologi sidik
jari. Padahal sidik jari sudah memiliki sejarah riset yang panjang, yang
sungguh menyedihkan kalau dianggap sebagai bentuk penipuan yang lain.
Penutup
Ketimbang berburuk sangka dengan
menuduhkan Tes Sidik Jari sebagai penipuan, atau ramalan, maka ada baiknya kita
melihat manfaat dari hasil Tes tersebut. Setelah mengetahui faktor dominan
dalam diri anaknya, maka orang tua punya referensi untuk mengarahkan masa depan
anaknya tanpa harus memaksakan kehendaknya yang hanya akan membuat anak
tertekan. Saya sendiri merasakan tingkat
akurasi yang sangat tinggi setelah melakukan Tes Sidik jari dengan STIFIn
Finger Print. Dan saya menemukan kembali jalur sukses saya, Karpet merah yang
telah Tuhan sediakan untuk saya. Demikian juga para orang tua yang membawa
anaknya untuk di tes, mengutarakan keakuratan hasil tes tersebut. Yang namanya ilmu buatan manusia
tentu tidak ada yang 100% sempurna, dan selalu ada kontroversi. Daripada
berkutat dengan kontroversi yang tidak akan pernah habis, alangkah lebih
baiknya jika orang tua langsung action mendesain masa depan bagi
putera-puterinya. Ini tentu lebih baik daripada harus menyerahkan kepada
kehendak alam begitu saja, dan membiarkan seperti air mengalir.
Tugas kami adalah memberi kontribusi dalam hal membantu orang
tua untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar